The Art Of Life

 

Sumber ilustrasi: Freepik


Oleh: Adel Liya Marha

*) Penulis adalah Alumni SMAN 1 Pabedilan

Julio melihat sosok yang tengah duduk sendirian di bangku taman. Ia tak sengaja melihatnya dari jarak kira-kira sepuluh meter dari tempatnya berdiri saat ini. Julio kemudian mengambil beberapa langkah mendekat untuk melihat lebih jelas siapa sosok berambut panjang itu.

“Junny? Lagi ngapain dia di sana?” Gumamnya setelah memastikan bahwa yang tengah duduk sambil membawa buku adalah orang yang dikenalnya. Julio berjalan mendekati Junny, gadis itu, yang sedang menggoreskan sesuatu di atas bukunya.

“Hai, Junny. Lagi ngapain?” Sapa Julio yang seketika membuat Junny terlonjak kaget di bangkunya. “Astaga, Julio! Aku kaget tau!” Junny merengut kesal sementara Julio tertawa pelan, tampak puas dengan perbuatannya barusan.

“Aku tadi nanya loh,” protesnya karena pertanyaannya tak mendapat respons. Well, pertanyaan yang retoris sebenarnya.

“Kamu enggak liat aku lagi ngapain?” Jawab Junny dengan nada yang masih kesal. Ia tak mengindahkan pertanyaan Julio ataupun raut muka penuh rasa penasarannya. Ia tengah menggambar, mencipta sebuah karya, meskipun belum terlihat apa hasilnya. Artinya tak ada seorang pun yang boleh mengalihkan fokusnya.

“Yaudah, deh. Aku minta maaf soal yang tadi.”

Julio sudah tak tahan diabaikan begitu oleh Junny. Ia berpikir mungkin saja Junny masih marah padanya. Jadi, saat ini yang paling penting adalah meminta maaf. Baru setelah mengucapkan kalimat permohonan maaf itu, Junny menatapnya dan mengalihkan pandangannya pada Julio.

“Dimaafkan. Dengan syarat, kamu gak boleh ngajak aku ngobrol sebelum karyaku jadi,” belum sempat ia menyelesaikan kata terakhirnya, Julio melayangkan protes untuk yang ke sekian kalinya.

“Gak bisa dong! Aku kan ke sini buat ngobrol sama kamu,” melihatnya yang begitu, Junny sudah tidak sabar lagi. Terkadang, Julio sering bersikap kekanak-kanakan. Ia jadi penasaran apa saja yang ia makan selama ini.

“Yaudah, kamu pergi aja dari sini,” Junny mengibaskan telapak tangannya, mengisyaratkan Julio untuk pergi. Meski di dalam lubuk hatinya ia berharap Julio akan menemaninya saat ini. Ucapannya tadi hanya main-main, dan ia berharap kalau Julio tak menganggapnya serius.

“Ini tempat umum, ya! Emangnya taman ini punya buyutmu? Yaudah deh, aku turuti apa maumu,” Julio akhirnya mengalah dan Junny tersenyum penuh kemenangan. Untunglah ia tak benar-benar pergi.

“Gitu, dong,” katanya singkat kemudian ia kembali terfokus pada kegiatan sebelum Julio datang. Menggambar gambar yang abstrak, yang bahkan ia tak tahu apa itu.

Sekitar 25 menit berlalu, ia telah melihat segala tingkah laku Julio selama menunggunya selesai menggambar. Meskipun yang terlihat adalah dirinya yang terus fokus pada karyanya, namun nyatanya tak begitu. Sesekali ia melirik pada lelaki yang tengah duduk di sampingnya.

Terkadang menatap langit, kadang-kadang bangkit dari bangku itu dan berjongkok sambil mencabuti rumput. Atau saat Julio berjalan mengitari bangku tempat mereka duduk dan saat ini, saat ia melihatnya tertidur dengan posisi duduk di sampingnya. Ia tidak terlalu yakin, apakah tidurnya itu asli atau hanya sekadar memejamkan mata.

Ia berdeham pelan diikuti oleh kalimat pertanda berakhirnya kegiatannya. “Aku udah selesai, mau pulang aja, ah,” ucapnya berniat menjahili Julio sekaligus memastikan apakah ia tidur atau tidak.

“Jangan pulang dulu, hei,” tiba-tiba, Julio terbangun dan membalas ucapan Junny sambil menegakkan badannya. Sebenarnya, Junny memang berencana untuk pulang ke rumahnya setelah ini. Tetapi, pulang agak telat tak masalah kan? Ia hanya berjanji pada Mamanya, tetapi pada kenyataannya, Junny tidak ingin pulang ke rumahnya, untuk saat ini saja.

“Nah, sekarang kamu ceritain hasil karyamu. Aku pegel banget nungguin kamu, tau!” protesnya lagi untuk yang ke sekian kalinya.

“Aku enggak tahu makna gambar ini apa. Tapi yang pasti, karya enggak jelas ini mirip banget sama diriku,” Junny mulai berbicara sambil menyerahkan lembaran karyanya itu pada Julio. Seperti murid yang menyerahkan tugasnya pada Guru.

“Enggak! Kamu jelas kok, namamu Junny Savriyatna, kamu perempuan, kamu jelas banget, tau!” Ucapannya membuat Junny mengembangkan senyumannya. Entah kenapa ia merasa hangat sekali oleh kalimat itu.

“Aku emang gak ngerti seni. Tapi kalo gak salah seni juga punya aliran kan? Pokoknya gambarmu ini bagus dan kamu itu jelas banget, kamu berharga banget bagiku. Jadi, jangan bilang kalau kamu gak berguna ataupun gak jelas,” ucapnya dengan hati-hati.

Julio tahu, sesuatu tengah terjadi pada kehidupan Junny. Tetapi, ia tak ingin terlalu kepo dengan masalahnya. Meski begitu, ia selalu berharap kalau Junny akan menceritakan perasaannya saat ini dan membagi beban pikiran itu padanya.

“Kamu tahu, Lio? Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus, begitu kata John Gardner,” Julio terus-menerus memperhatikan gadis yang tengah berbicara itu. Junny tak memanggil nama penuhnya. Itu artinya, Junny mulai sedikit terbuka kepadanya.

“Aku gak tau siapa itu John, siapa tadi?” Junny dengan segera menjawab pertanyaan kecilnya itu. “John Gardner,” Julio mengiyakan jawaban gadis yang telah berteman lama dengannya itu. “Tapi aku mengerti konsep itu,” Junny mendengarkan dengan saksama dan sesekali ia tanggapi dengan senyum dan anggukan kecil.

“Hidup itu ibarat seni menggambar. Dan kitalah seniman itu. Tapi, gambar yang kita buat gak bisa kita hapus. Karena, yang udah terjadi di kehidupan kita gak bakal bisa diulang lagi. Benar, kan, Jun?” Lanjut Julio yang ditanggapi anggukan pelan dari Junny.

“Jika kita adalah seorang seniman, mungkin karyaku ini banyak sekali coretannya,” raut wajahnya sulit dibaca setelah mengucapkan kalimat itu. Junny terus-terusan melihat ke arah karya yang tadi ia buat.

“Jun, kamu boleh cerita padaku kapan pun itu. Coretan itu, biarlah menjadi coretan saja. Kamu harus terus menggambar karyamu. Dengan begitu, coretan-coretan itu akan tergantikan oleh gambar-gambar yang tak kalah indah,” katanya sambil menepuk pelan pundak Junny, menenangkannya yang kini terlihat rapuh.

“Terima kasih, Lio,” Junny lantas bangkit dari duduknya setelah mengucap kalimat sakral itu. Dan lalu berjalan menjauh dari bangku tempatnya duduk. Julio sengaja tak langsung mengikutinya. Junny butuh ruang sendiri, ia yakin akan itu. Saat dirasa langkahnya mulai menjauh, Julio dengan segera menghampiri Junny.

“Mau ke mana?” Tanyanya sambil terus menyamai langkahnya. “Pulang ke rumah. Mama udah nunggu dari tadi,” Junny menghentikan langkahnya sambil membalikkan tubuhnya ke arah Julio. Julio yang ada pas di belakangnya itu mundur selangkah saat dirasa tubuh mungil itu akan menabraknya.

“Oh iya, gambarnya buat kamu,” Junny menunjuk pada sketchbook dan alat tulisnya yang terlupakan di bangku itu. “Itukan kamu yang buat,” Julio mengerutkan dahinya, tak percaya dengan apa yang dikatakan gadis itu.

“Anggep aja hadiah dari aku. Jangan banyak protes, deh!” Kalimat terakhir yang Junny ucapkan tadi sukses membuat Julio membalikkan badannya dan dengan segera berlari mengambil sketchbook kepunyaan Junny.

Junny menunggunya untuk pulang bersama. Meskipun arah mereka tak sama. Saat Julio hampir mencapai jaraknya berdiri, ia mulai berjalan di depan lebih dulu. Membuat sang lelaki harus melebarkan langkahnya lagi. Junny berjalan dengan cepat sementara Julio punya langkah kaki yang lebar. Perbedaan itu yang membuat mereka bisa menyelaraskan langkah bersama.

“Aku antar sampai depan rumah. Jangan banyak protes!” Kata Julio yang membuat Junny terkekeh pelan. “Iya deh, aku ngikut kamu,” kalimat dari Junny menjadi penutup pertemuan mereka kali ini. Terang akan segera tergantikan oleh gelap. Senja akan hilang dan tergantikan oleh malam. Begitulah akhir pertemuan mereka.**

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama