*(Siswa SMAN 1 Pabedilan)
Hari itu, aku bermain bersamanya, dan di hari itu juga aku mengharapkan sebuah persahabatan yang kekal dan abadi. Namun, entah apa yang terjadi saat itu, sebuah kejadian yang membuatku hampir melupakan segalanya. "Rina!!!" teriakku terbangun dari tidurku.
Memperhatikan sekelilingku terlihat banyak sekali peralatan medis yang sering ku tonton di film-film. Saat menatap tangan dan kakiku, balutan perban memenuhi tangan kiriku, belum lagi dengan ukuran tubuhku yang tampak lebih besar. Seingatku aku mempunyai tubuh yang mungil. Sambil dihantui rasa penasaran, aku beranjak dari kasur tipis aneh itu dan berjalan menuju pintu keluar. Rasanya tubuhku juga tidak seperti biasanya. Aku membukakan pintu dan sedikit terkejut saat melihat ada seorang wanita mengenakan pakaian perawat.
"Eh nak Kirana, mau kemana?" ucap perawat itu dengan senyuman terpaksa.
Kemudian aku pergi dari ruangan itu tanpa memedulikan orang itu meskipun ia berusaha menghentikanku dengan lembut. Kemudian aku bertemu dengan pasangan tua yang tampak seperti kedua orang tuaku.
"Kirana bagaimana kabarmu? Ayah dengar kau sedang senang hari ini," ucap kakek-kakek itu.
Ayah? Tunggu, bukankah ayahku masih muda? dan sejak kapan aku terbiasa dengan bahasa dan respon seperti ini?
Kemudian seorang pria dengan jas putih mendatangiku dengan ekspresi yang tampak panik.
"Kirana!!" Pria itu memanggil namaku. Kemudian dia tampak lega saat melihatku yang baik-baik saja.
"Pak dokter, apakah anak saya sudah sembuh pak?" tanya ayahku kepada pria jas putih.
Aku yang kebingungan sempat ingin bertanya, tapi aku malah disuruh berjalan ke suatu ruangan. Di sana, mereka membicarakan tentang penyakit yang aku pun tidak mengerti. Setelahnya, aku pulang ke rumah dengan menggunakan mobil yang dibawa oleh ayahku. Di mobil aku sempat bertanya.
"Emh ... Ayah!!"
"Iya nak? Ada apa?"
"Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah kalian masih muda? Tapi mengapa kalian terlihat sudah sangat tua?" tanyaku. Kemudian mereka terdiam sejenak, dan ibu menoleh ke arahku dengan senyumnya, tetapi aku tak melihat kerutan di matanya.
"Sebenarnya saat usiamu tujuh tahun, kau mengalami kecelakaan yang membuatmu koma hingga sepuluh tahun lamanya," ucap ibu.
"Ohh, pantas saja kalian lebih tua. Lalu bagaimana dengan Rina? Seingatku saat itu kami bermain bersama," tanyaku.
Lagi dan lagi, mereka merenungkan sesuatu yang aku tidak tahu. Kulihat mereka berpura-pura tak mendengarkan pertanyaanku. Saat kami sampai di rumah, seorang pembantu membawaku ke kamar, sedangkan ibu dan ayahku terdengar seperti sedang menangis. Kemudian aku berbicara pada pembantu itu.
"Marine.. bukankah kau Marine anak dari pembantu yang dulu?" tanyaku.
"Umh iya benar saya Marine, saya sangat senang nona masih mengingatku," ucapnya.
"Rasanya kau berubah banyak ya, padahal dulu kau masih bermain denganku dan memanggil namaku," ucapku. Teringat akan masa kecilku, aku pun mencoba bertanya mengenai Rina.
"Marine, apa kau masih mengingat Rina, anak yang sering main dengan kita itu apa kau mengingatnya?”. Ia tampak bingung ingin berkata apa, kemudian ia menghela nafas panjang.
"Maksud nona? Bukankah dulu kita hanya bermain berdua saja?"
Setetes air mata hampir keluar dari matanya, namun wajahnya masih memasang senyum palsunya. "Marine, tolong jangan menyembunyikan sesuatu," ucapku. Namun, ia berhasil mengelak dari pertanyaanku. .
"Sepertinya nona sedang haus, aku buatkan teh hangat dulu ya," ucapnya lalu bergegas pergi dari kamarku.
Lalu aku mengikutinya ke dapur dan di sana ia tampak sedang menangisi sesuatu. Beberapa hari berlalu, setiap kali aku menanyakan tentang Rina, mereka selalu berkata tidak tahu. Bahkan mereka mengatakan bahwa mereka tak mengenal Rina, dan di hari itu juga aku pergi ke rumah nenekku. Di rumah nenek, aku melihat nenek yang sedang berbaring di kasur.
"Kirana, apa itu kau?" tanya nenek. Kemudian aku menghampiri nenek dan berkata, "iya, ini aku Kirana, rasanya aku sangat merindukanmu nenek," ucapku.
"Ahaha.. Kau bisa saja, nenek senang sekali bisa melihatmu dalam keadaan sehat seperti ini. Maafin nenek ya, nak. Sekarang nenek sudah tidak mampu untuk berjalan seperti dulu lagi, dan nenek juga sudah tidak bisa membawamu jalan-jalan lagi," ucap nenek.
"Tidak apa-apa nek, aku juga sudah besar dan sudah seharusnya aku untuk mandiri."
Kemudian nenek meraih tanganku, dan kehangatan itulah yang sangat kurindukan dari nenek. "Rina pasti sangat senang kalau melihatmu tersenyum," ucap nenek.
Aku terkejut saat mendengar nenek memanggil nama Rina, dan aku juga senang karena nenek masih mengingatnya. "Jadi nenek masih mengingatnya?" tanyaku pada nenek.
"Tentu saja, kau dan Rina dulu kan sering bermain di depan rumah nenek, dan nenek juga masih ingat saat membawamu pergi ke danau bersama Rina dan Marine." Nenek menceritakannya dengan penuh semangat dan senyuman. Karena hal itu, aku tersenyum gembira.
"Lalu bagaimana keadaannya? apa dia masih sering main ke sini?" tanyaku. Kemudian, suasana mendadak senyap saat senyum di wajah nenek mulai memudar.
"Di hari itu.. Kalian sedang bermain bersama, namun sebuah mobil tiba-tiba kehilangan kendali dan melaju kencang menghampirimu..." Aku diingatkan kembali pada kejadian 10 tahun yang lalu.
"Kemudian apa yang terjadi?" tanyaku pada nenek.
"Saat itu, nenek melihat Rina berlari dan mendorongmu," lanjut nenek.
Air mata mengalir di wajahku, tapi nenek masih melanjutkan ceritanya.
"Kejadian itu telah merenggut nyawanya." Tangisan itu, sudah tak bisa kutahan.
"Kau berteriak keras saat melihat tubuh Rina yang terbaring, dan kau kehilangan akal sehat karena kejadian tersebut," lanjut nenek. "Kemudian... Kau..."
"Cukup!!! Sudah cukup nek!!!" Aku berteriak karena sedikit kehilangan kendali. Semua kesedihan, telah disampaikan dalam satu tangisan. Sebuah kisah persahabatan dengan jutaan harapan, kini hanya tersisa kenangan dalam ingatan.