Pagi itu terasa hangat meski langit mendung. Dina, seorang ibu dengan kandungan besar, berjalan pelan-pelan ke dapur. Usia kandungannya sudah sembilan bulan, dan rasa nyeri mulai terasa. Namun, alih-alih beristirahat, Dina malah berpikir sarapan anak-anaknya. Della dan Siti, dua anak perempuannya yang masih kecil, adalah segalanya bagi Dina. Meski sakit, ia ingin memastikan mereka makan sebelum dirinya berangkat ke rumah sakit.
Dina berdiri di depan kompor, menyalakan api, dan menuangkan sedikit minyak ke penggorengan. Ia tahu Della dan Siti menyukai telur ceplok untuk sarapan. Sederhana memang, tapi bagi kedua putrinya, telur ceplok buatan ibu adalah makanan yang penuh cinta. Dengan senyum lembut, Dina memecahkan dua telur dan mendengarkan suara desisnya di atas minyak panas.
“Bu, aku mau telur ceploknya yang kuningnya setengah matang,” kata Della, anak sulungnya yang berusia sembilan tahun, sambil tersenyum.
“Iya, Kak! Aku juga mau seperti itu!” sahut Siti, anak bungsunya yang masih enam tahun, sambil memeluk kaki Dina.
Dina mengusap kepala kedua anaknya penuh kasih. “Iya, sebentar lagi selesai. Ibu buatkan yang paling enak.”
Namun, saat menunggu telur-telur itu matang, rasa sakit di perutnya kembali menyengat. Tangannya gemetar, dan ia terpaksa memegang pinggir meja dapur untuk menahan sakit yang tiba-tiba. Telur yang ia goreng mulai berasap, tanda bahwa panasnya berlebihan. Dina buru-buru mengambil spatula dan memindahkan telur-telur itu ke piring, walaupun sudah sedikit gosong.
“Ibu, telurnya gosong!” seru Della sambil tertawa kecil. Tapi dia tetap mengambil satu potongan dan memakannya. Meski rasanya sedikit pahit, ia tetap mengunyah dengan nikmat.
“Maaf, ya, telur buatan ibu sedikit gosong kali ini,” ujar Dina dengan senyum yang dipaksakan. Rasa sakit terus menggerogoti, tetapi ia tetap ingin melihat anak-anaknya makan dengan gembira.
Tak lama kemudian, suaminya, Andi, melihat Dina yang sudah kehabisan tenaga bersandar di meja dapur. “Dina, kita ke rumah sakit sekarang juga!” Andi segera memanggil taksi untuk membawa istrinya. Sementara itu, anak-anak tinggal bersama nenek mereka yang datang tergesa-gesa.
Dalam perjalanan, Dina tak berhenti tersenyum. Di balik wajahnya yang pucat, ia menggenggam tangan suaminya erat-erat, seolah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. “Tolong jaga anak-anak kita, ya, Mas,” ucap Dina lirih.
Andi hanya mengangguk sambil menahan air mata. Dina tahu ini adalah perjuangannya yang terakhir. Ia merasa tenaganya mulai habis, tetapi hatinya tetap hangat saat membayangkan wajah-wajah putri kecilnya.
Di rumah sakit, proses persalinan berjalan penuh perjuangan. Dina mengerahkan seluruh tenaga dan cintanya untuk melahirkan putri bungsunya. Ketika tangisan bayi mungil itu terdengar memenuhi ruang persalinan, Dina tersenyum lega. Namun, tak lama setelah itu, tenaganya perlahan-lahan menghilang.
Dina menatap bayi yang baru lahir itu dengan mata setengah terbuka. “Namanya … Bunga,” ucapnya pelan. Ia ingin sang bayi kelak tumbuh secantik bunga, yang membawa keindahan dan ketenangan. Beberapa menit kemudian, Dina memejamkan mata untuk terakhir kalinya. Wajahnya tenang, seolah ia telah menuntaskan semua tugasnya di dunia ini.
Hari-hari berlalu, dan keluarga kecil mereka tak lagi sama. Andi berusaha keras menjadi ayah sekaligus ibu bagi ketiga putrinya. Meski Della dan Siti masih kecil, mereka sadar akan kehilangan besar dalam hidup mereka.
Setiap pagi, Della sering membuka lemari dapur dan melihat wajan tempat ibunya biasa memasak telur ceplok. Satu kali, ia mengajak Siti untuk memasak telur ceplok bersama-sama. Meski tak sesempurna buatan ibu, mereka berusaha membuat telur dengan kuning yang setengah matang.
“Telur buatan kita nggak gosong kayak buatan ibu, ya, Kak,” ujar Siti sambil tertawa kecil.
Della tersenyum, lalu memandangi telur ceplok yang mereka buat. “Iya, tapi aku suka telur ceplok ibu yang gosong itu. Rasanya … berbeda.”
Della tahu, rasa berbeda yang ia maksud bukanlah tentang telur itu sendiri, melainkan rasa kasih sayang yang terselip di dalamnya. Telur ceplok yang sedikit gosong itu akan selalu menjadi kenangan manis tentang ibunya. Bagi mereka, masakan sederhana itu telah berubah menjadi simbol cinta ibu yang tak pernah padam.
Hari demi hari, kenangan tentang ibu terus hidup di hati mereka. Setiap kali mereka melihat telur ceplok, mereka tahu bahwa ibu mereka, meski tak lagi hadir secara fisik, akan selalu ada di hati mereka.
Seiring berjalannya waktu, Della, Siti, dan Bunga tumbuh semakin besar. Kehilangan ibu di usia yang masih muda membuat mereka belajar menghadapi banyak hal dengan cepat. Mereka sering kali merasa ada bagian yang hilang, terutama dalam momen-momen yang biasanya diisi kehadiran ibu. Meskipun begitu, mereka saling menguatkan dan belajar dari sosok ibu yang selalu mereka kenang.
Andi, ayah mereka, berusaha keras memenuhi peran sebagai ayah dan ibu bagi ketiga putrinya. Terkadang, ia menghabiskan malam-malam panjang memandangi foto Dina yang tersenyum hangat, seolah masih menyemangati dari kejauhan. Andi bertekad untuk mengajarkan semua nilai kebaikan yang pernah ia lihat dari istrinya kepada ketiga putri mereka.
Suatu hari di ulang tahun Dina, mereka bertiga berkumpul di dapur. Della, yang kini berusia 12 tahun, memutuskan untuk mengajak Siti dan Bunga membuat telur ceplok bersama-sama, seperti yang sering ibu mereka lakukan. Di pagi itu, mereka mencoba mengulang kenangan sederhana tentang ibu yang penuh kasih sayang.
“Kak Della, telur ceplok ibu kita itu enak ya, meski kadang gosong,” kata Siti sambil tersenyum kecil, mengenang sarapan terakhir bersama ibu mereka.
Della tersenyum mengangguk. “Iya, dan ibu selalu bilang, ‘Makan yang semangat, ya’. Padahal telurnya gosong, tapi kita tetap makan habis, ‘kan?”
Mereka bertiga tertawa kecil sambil memecahkan telur ke dalam wajan. Mereka menatap telur yang mulai matang sambil mengenang momen terakhir bersama ibu. Wajan tempat mereka memasak itu adalah satu-satunya barang yang Andi tidak pernah ganti, seolah menjadi benda kenangan yang tak ternilai bagi keluarga mereka.
Siti mengaduk telur dengan hati-hati, berusaha meniru cara ibu mereka dulu. Namun, tiba-tiba saja telurnya terlalu lama di wajan dan mulai gosong sedikit di pinggirannya. Siti mengeluh, “Aduh, gosong lagi kayak punya ibu.”
Della tersenyum, lalu memeluk adiknya. “Nggak apa-apa, gosongnya justru yang bikin kita ingat sama ibu. Telur ini seperti telur ceplok terakhir ibu buat kita.”
Bunga, yang masih kecil dan belum begitu mengerti hanya melihat kedua kakaknya dengan polos. “Kak, telur gosong ini enak, ya? Bunga suka telur gosong.”
Andi, yang mengintip dari pintu dapur, tersenyum melihat ketiga putrinya. Dalam benaknya, ia mengenang betapa Dina selalu menyiapkan sarapan untuk keluarga mereka, bahkan saat kondisinya sudah lemah. Andi merasa bersyukur bahwa kenangan Dina tidak pernah benar-benar hilang. Cinta Dina seolah hidup dalam setiap telur ceplok yang mereka buat.
Ketiga putrinya kemudian membawa piring-piring mereka ke meja makan. Andi bergabung dan duduk bersama. Saat mereka mulai makan, Andi terdiam, menikmati rasa telur yang sedikit gosong itu. Ia mengingat bagaimana Dina selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi keluarganya, bahkan saat tubuhnya sendiri sudah tidak mampu. Ia sadar bahwa cinta Dina ada dalam setiap hal sederhana yang mereka lakukan bersama.
“Anak-anak, ibu kalian pasti senang melihat kalian rukun seperti ini. Dia selalu bilang, keluarga ini adalah yang terpenting baginya,” ujar Andi sambil tersenyum haru.
Della mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Iya, Ayah. Ibu pasti selalu ada untuk kita, walaupun hanya dalam kenangan.”
Mereka pun makan dengan penuh rasa syukur. Meski sederhana, telur ceplok yang sedikit gosong itu membawa kenangan hangat yang selalu membuat mereka merasa dekat dengan ibu mereka. Di setiap potongannya, ada cinta yang tak akan pernah pudar, bahkan dengan kepergian ibu mereka. Di hati mereka, Dina selalu hidup. Dalam setiap telur ceplok, setiap pagi, dan setiap tawa yang mereka bagi, Dina ada.